Komnas HAM Kritik Penahanan 4 Perempuan bersama Balita Terkait Sengketa Pabrik Tembakau
Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) mengkritik penahanan empat perempuan bersama dua balita, warga Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dua dari empat perempuan itu harus membawa anaknya yang masih balita ke tahanan karena masih menyusui.
Mereka ditangkap karena melempari atap pabrik tembakau. Warga mengeluh sesak napas dan terganggu bau yang berasal dari pabrik tersebut.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, empat perempuan itu tidak sepantasnya ditahan aparat penegak hukum karena sejumlah alasan.
"Saya kira mereka tidak selayaknya ditahan karena alasan kemanusiaan dan juga tidak ada potensi melarikan diri," ujar Beka, kepada Kompas.com, Minggu (21/2/2021).
Beka meminta supaya kepolisian berhati-hati dalam menangani kasus ini agar tidak melukai rasa keadilan masyarakat.
Untuk itu, menurut Beka, sudah kepolisian menerapkan prinsip restorative justice atau keadilan restoratif.
Pendekatan ini juga sejalan dengan wacana penguatan restorative justice, sebagaimana dikemukakan pemerintah belakangan ini.
Dengan prinsip tersebut, Beka mengatakan, sebaiknya empat perempuan itu dibebaskan dari tahanan.
"(Pembebasan) harus melalui pendekatan restorative justice lebih dahulu. Supaya kedua belah pihak sama-sama sepaham dan bisa menyelesaikan kasusnya bersama-sama," tegas Beka.
Di samping itu, Beka menilai kasus ini juga dapat menjadi ujian awal bagi pemerintah melalui aparat penegak hukumnya dalam menerapkan mekanisme restorative justice.
"Batu ujiannya bisa melalui kasus ini," imbuh dia.
Sengketa sejak 2007
Kepala Desa Wajageseng Dedi Ismayadi menjelaskan, sengketa antara warga dan pabrik tembakau sudah berlangsung sejak 2007.
Sengketa berawal dari warga yang tinggal di sekitar gudang tembakau merasa terganggu dengan bau keras dari gudang atau pabrik tembakau tersebut.
Mereka mengaku merasa sesak, dan tak tahan dengan baunya. Sementara pihak pabrik tetap beroperasi.
Akhirnya, warga yang keberatan dengan keberadaan pabrik tembakau di tengah perkampungan dan digelar mediasi. Karena tidak membuahkan hasil, warga melempari pabrik dengan batu dan kayu.
"Awalnya dibiarkan, kemudian ada mediasi. Tetapi saat warga melempar lagi, pihak pabrik merekam aksi warga dengan video dan melaporkan kejadian itu ke aparat kepolisian, itu sudah lama delapan bulan lalu," kata Dwi, warga setempat.
Dedi mengatakan, mereka ditahan petugas setelah dilaporkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pihaknya juga sudah mengajukan surat penangguhan penahanan agar warganya bisa segera dibebaskan.
Kasi Intel Kejaksaan Negeri Praya, Catur Hidayat Putra, membenarkan telah menahan empat perempuan itu sejak Rabu (17/2/2021).
Menurutnya, jaksa telah meminta pada para tersangka agar menghubungi keluarga atau suami mereka agar menandatangani berkas penangguhan penahanan.
Namun hingga pukul 16.50 Wita, tidak ada yang bersedia dan akhirnya keempatnya ditahan, kemudian dititipkan ke Polsek Batu Nyala, Lombok Tengah.
Pihak Kejaksaan fokus pada tahap dua pelimpahan perkara para tersangka. Sehari setelah menjadi tahanan, kejaksaan mempercepat proses pelimpahan tahanan ke pengadilan pada Kamis (18/2/2021) sore.
Kejaksaan melimpahkan penahanan keempatnya menjadi tahanan Pengadilan Negeri Paya dan dititipkan di Rutan Praya.
"Waktu dilakukan penahanan sementara itu, mereka yang membawa anak anak mereka karena masih menyusui, dan ditempatkan di tempat khusus, kami tidak melakukan penahanan terhadap anak-anak," kata Catur saat dikonfirmasi melalui telepon, Jumat (19/2/2021).
Catur mengatakan dalam berkas perkara, para tersangka melempar pabrik tembakau dengan batu dan kayu.
"Ada yang melempar lima kali, ada yang dua kali, ada yang sekali. Kerusakan bangunan atap bangunan yang rusak tidak bisa digunakan lagi, " Kata Catur.