Ini Dia! PENCURI DAN KORUPTOR, APAKAH BEDANYA? Pencuri VS Koruptor!!!
Tetapi apakah rakyat Indonesia mengetahui perbedaan yang terkandung dalam norma-norma (kaidah) yang melarang perbuatan mencuri dan korupsi.
Untuk pencurian terdapat pengaturannya pada KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA yang diberlakukan oleh Peraturan Hukum Pidana, Undang-Undang tanggal 26 Pebruari tahun 1946 Nr. 1, yakni memberlakukan peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942.
Adapun judul asli dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diambil dari "Weboek van Strafrecht Nederlandsch-Indie yang dirubah menjadi "Wetboek van Strafrecht"
Khususnya untuk hal pencurian diatur dalam Bab XXII dengan judul PENCURIAN, dari Pasal 362 sampai dengan Pasal 367 KUHAP.
Asas pokok yang terkandung dalam Bab XXII tentang Pencurian adalah mengambil sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak.
Sedangkan ancaman pidananya adalah pidana penjara selama lima tahun yang berdasarkan ketentuan KUHAP dapat dikenakan penahanan untuk pemeriksaan di penyidikan, penuntututan, atau persidangan.
Sebaliknya, untuk korupsi mulai diatur oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, yang sebelumnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 mencabut Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.
Terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 memiliki norma/kaidah dasar yang pokok, yakni:
- dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara.
- dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
- melawan hukum tersebut mengandung pengertian formil maupun materil
Bahwa undang-undang ini diberlakukan karena pada masa itu banyak perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang tidak selamanya didahului oleh suatu kejahatan atau pelanggaran dan subyek hukum dalam undang-undang ini pun menekankan kepada pegawai negeri.
Kemudian, pada tahun 1999 masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, sedangkan pada pokoknya tidak berbeda jauh dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.
Pada undang-undang tahun 1999, hanya menekankan kepada elemen/unsur pasal sebagaimana pada KUHP, tetapi ancaman pidananya lebih diperberat.
Selanjutnya pada tahun 2001 pada masa pemerintahan Presiden Megawai Soekarnoputri telah dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Pada pokoknya, antara undang-undang di tahun 1999 dengan undang-undang di tahun 2001, tidak ada perbedaan fundamental, terkecuali pada pengertian melawan hukum yang tidak lagi diartikan secara formil dan materil. Hal ini dikarenakan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, pengertian melawan hukum harus diartikan dengan pengertian formil dalam tindak pidana korupsi.
Perbedaan mendasar pada undang-undang tahun 2001 dengan sebelumnya adalah adanya istilah "gratifikasi" yang disamakan dengan suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Tetapi pada undang-undang tahun 2001 juga memiliki celah hukum tersendiri dalam hal gratifikasi ini, yakni selama pegawai negeri tersebut dapat membuktikan bahwa gratifikasi itu bukan merupakan suap untuk nilai diatas Rp10 juta, sedangkan untuk di bawah Rp10 juta pembuktiannya dilakukkan oleh penuntut umum.
Yang diartikan dengan sederhana adalah apa pun dan berapa pun nilai gratifikasi, selama dapat dibuktikan bukan suap, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Selama kemerdekaan Indonesia, untuk perkara tindak pidana korupsi sudah tiga kali mengalami perubahan dari tahun 1971, 1999, dan 2001, untuk tiga masa pemerintahan presiden yang berbeda.
Tetapi selama itu pula, rakyat Indonesia tidak merasakan perubahan yang signifikan, berbeda halnya dengan norma/kaidah pencurian dalam KUHP yang tidak berubah pengaturannya sejak tahun 1946.
APAKAH atas perubahan-perubahan ketiga kalinya norma/kaidah tentang tindak pidana korupsi dapat menjerat lebih banyak para pelaku koruptor?
Justru dengan semakin lebih banyaknya perubahan tanpa adanya tindakan-tindakan progresif mengakibatkan para koruptor memiliki prestise diantara semua pelaku kejahatan.
Sebaliknya, menurut penulis antara pencuri dengan koruptor itu tidaklah mempunyai perbedaan yang signifikan atas norma/kaidah yang dilarang.
Kedua hal tersebut mempunyai asas norma/kaidah bahwasanya seseorang tidak boleh mengambil milik orang lain tanpa seijin pemiliknya. Norma/kaidah ini pun terdapat pada semua agama.
Perbedaan kecil antara pencuri dengan koruptor adalah hanya terletak pada modus mengambil tanpa ijin tersebut dan kecakapan/kemampuan yang melibatkan birokrasi pemerintahan/jabatan/kewenangan, YANG MANA SEBELUMNYA PARA KORUPTOR TERSEBUT MEMILIKI KEWENANGAN ATAU KEKUASAAN UNTUK BERTINDAK ATAS AMANAH TERHADAP BARANG/KESEMPATAN YANG ADA PADANYA YANG KEMUDIAN AMANAH TERSEBUT DISELEWENGKAN.
SEDANGKAN KEPADA PENYELEWENG AMANAH YANG DIBERIKAN KEPADANYA PUN untuk setiap agama telah ada norma/kaidah yang mengatur dan melarang perbuatan menyelewengkan amanah, selain itu adanya adagium:
TEPATILAH JANJI DAN SUMPAHMU, JANJI ITU ADALAH UTANG, DAN UTANG ITU HARUS DIBAYAR. (anonim)